ABSTRAK
Syukur termasuk bagian dari ajaran Islam
tentang cara berterimakasih yang penting dan sangat diperhatikan di mata Allah
sekaligus juga bagi manusia. Dalam studi Al-Qur’an, syukur merupakan lawan dari
kufur. Kufur dimaknai menutup diri, sedangkan syukur diarttikan membuka atau
mengakui diri. Efek positif syukur bisa membuat seorang manusia yang sedang
dilanda kesusahan menjadi penuh keringanan dan mendapat kenikmatan dalam
hidupnya. Nikmat Allah yang diberikan kepada kita tidak terhitung dan tidak
terbatas, nikmat-nikmat itu datang silih berganti baik pada waktu siang atau
malam dan nikmat yang paling besar yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya
adalah nikmat mendapat hidayah agama Islam. Tetapi dalam praktiknya kebanyakan
manusia belum bisa mengamalkan secara maksimal pentingnya suatu ajaran tentang
mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Hal tersebut bisa terjadi karenanya
kurangnya pemahaman dan cenderung tekstual ketimbang kontekstual. Oleh karena
itu tulisan ini lebih memfokuskan pada pembahasan tentang syukur atas nikmat
Allah swt dalam Al-Qur’an.
[That
included a part of the teachings of Islam on how to thank the important and is
considered in the eyes of Allah, as well as for humans. In study of al-Qur’an,
gratefully is the opposite of Kufur. Kufur intrepeted as exclusive, where as
gratefully acknowledge themselves or inclusive. The positive effect of
gratefully can make a man who was hit by distress to be full of breaks and gets
pleasure in his life. Scrumptious Allah given to human beings to be counted and
are not limited, the pleasure it came and went well in the afternoon or night
and the biggest pleasure given to mani s good to get’s Hidayah of Islam. But in
practice most people can not apply to the fullest the importance of a school
about ingratitude have Allah gave us. This can duet o lack of understanding and
tend to textual than contextual. Therefore this is more focused on the
discussion about gratitude for the blessings of Allah swt in the al-Qur’an.]
Kata Kunci :
Syukur dan Nikmat
Pendahuluan
“Know that thankfulness is from the
highest of stations, and it is higher than patience, and fear and detachment of
the world”.
-Imam al-Ghazali-
Manusia
tidak akan pernah merasa cukup karena manusia bukanlah makhluk yang sempurna,
dari tidak sempurnaan itu manusia harus mensyukuri terhadap apa yang telah ia
miliki, karena orang lain belum tentu memilikinya. Di zaman yang serba modern
ini banyak sekali orang yang tidak merasa puas atau merasa cukup baik dalam
segi harta maupun jabatan. Banyak orang yang hanya memikirkan hal duniawi saja,
sedang mereka lupa akan hal akhirat. Dalam konteks ini, problematika syukur
yang dialami dan dirasakan manusia menjadi penting dicermati kembali dalam
upaya bersungguh-sungguh untuk menuju jalan lurus Allah. Allah adalah tujuan
hidup setiap ciptaan-Nya. Artinya, ekspresi syukur seperti apa yang telah
dilakukan manusia, apakah sejalan dengan perintah-Nya atau belum. Rasanya,
syukur disini tentu selalu dimulai sekaligus dipengaruhi oleh epistomologi
kesadaran akal pikiran manusia sekaligus hati perasaannya yang berpengaruh
dalam praktik bahasa agama setiap pribadi manusia.[1] Dari sinilah, perbuatan dan
pola bersyukur akan tampak. Pembacaan sekaligus penafsiran kitab suci al-Qur’an
tentu saja memerlukan metode, pendekatan dan metodologi tertenty sesuai dengan
tujuan dalam praktik kehidupan sehari-hari.[2] Segala sesuatu yang
terdapat di bumi ini adalah pemberian oleh Sang Maha Pencipta. Pemberian yang
Allah swt meliputi berbagai aspek di kehidupan, salah satu contohnya adalah
nikmat. Nikmat dalam bahasa Arab memiliki arti kebaikan, keenakan, dan semua
rasa bahagia. Hal-hal yang bisa dirasakan datangnya suatu nikmat ialah seperti
nikmat sehat, nikmat memiliki kepandaian, nikmat diberikan kemudahan, dan
lainnya. Allah berfirman dalam surat An-Nahl : 3 yang artinya “Dan tidak ada
kenikmatan yang ada pada kalian kecuali datangnya dari Allah” ini merupakan
dalih yang tegas dan jelas dimana segala nikmat itu datangnya dari Allah. Oleh
sebab itu jika kita diberikan kesehatan, kepandaian, kemudahan dan segala
bentuk kenikmatan lainnya sudah sepatutnya kita sebagai penikmatnya harus memiliki sifat bersyukur atas apa yang
telah Allah berikan. Bersyukur merupakan suatu sifat yang wajib dimiliki oleh
setiap hamba Allah karena dengan sikap ini seseorang bisa mengingatkan untuk
berterimakasih kepada pemberi nikmat (Allah) dan perantara nikmat yang
diperolehnya (manusia).
Dimafhumi
bahwa problematika pemahaman syukur bukan sesuatu yang baru dibahas. Namun,
ibarat seumur manusia, bahasan syukur telah ada mulai dari adanya manusia
hingga hari ini dan nanti. Informasi ini bisa didapat dari berbagai sumber,
khususnya dalam al-Qur’an yang secara nyata menjelaskan dan membuktikan kepada
semua manusia tentang syukur dari satu masa ke masa yang lain. Intinya adalah
syukur adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesan bila setiap manusia mampu
mengamalkannya secara maksimal.[3]
Pengertian Syukur
Kata kunci dari syukur adalah suka berterimakasih,
tahu diri, tidak mau sombong, dan tidak boleh lupa Allah. Bagi seorang Muslim
kunci syukur itu adalah ingat Allah. Kita ada karena Allah dan kepada-Nya kita
akan kembali. Di sinilah, syukur seringkali disamakan dengan ungkapan rasa
“terima kasih” dan segala pujian hanya untuk Allah semata. Semakin sering
bersyukur dan berterima kasih, kita akan semakin baik, tenteram dan bahagia.
Syukur juga berarti menampakkan sesuatu kepermukaan. Dalam hal ini
menampakkan nikmat Allah. Sedangkan menurut istilah syara’, syukur
adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah yang disertai dengan
kedudukan kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan
dan kehendak Allah.
Dalam hal ini, hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan
hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain
berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh
pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah.
Allah berfirman dalam Al-quran:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". ( Q.S Ibrahim,14: 7)
Apabila manusia mau mensyukuri akan nikmat Allah SWT., maka Allah
akan menambah nikmat-Nya, dan apabila manusia itu tidak mau berterima kasih
kepada nikmat-Nya, maka sesungguhnya Allah akan mencabut dan juga mengurangi
nikmat dari manusia tersebut sebagai hukuman atas kekufurannya.
Bersyukur
itu terbagi menjadi tiga bagian, yang diantaranya:
1.
Bersyukur dengan lisan, maksudnya ialah mengakui segala kenikmatan yang telah
diberikan oleh Allah Swt dengan sikap merendahkan diri.
2.
Bersyukur dengan badan, yakni bersikap selalu sepakat serta melayani (mengabdi)
kepada Allah Swt.
3.
Bersyukur dengan hati, yaitu mengasingkan diri di hadapan Allah Swt. dengan
cara konsisten menjaga dzikir akan keagungan dan kebesaran Allah Swt.
Sering sekali kita sebagai manusia lalai dalam mensyukuri nikmat
Allah dan tidak menyadari bahwa nilai suatu nikmat yang telah dianugerahkan
Allah kepada dirinya. Maka dia baru terasa apabila nikmat itu dicabut dari
dirinya, maka dia barulah merasakan dan menyadarinya, contohnya adalah nikmat
berupa kesehatan jasmani dan juga kesehatan rohani.
Dalam
firman Allah:
وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
Artinya: "Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". (An-Naml ayat 40)
Cara
Bersyukur
Ada banyak cara yang dapat dilakukan
manusia untuk mensyukuri nikmat Allah swt. Secara garis besar, mensyukuri
nikmat ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Syukur dengan Hati
Syukur dengan hati dilakukan dengan
menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang kita peroleh, baik besar, kecil, banyak
maupun sedikit semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah SWT. Allah SWT
berfirman:
“Segala
nikmat yang ada pada kamu (berasal) dari Allah." (QS. An-Nahl
: 53)
Syukur dengan hati dapat mengantar
seseorang untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan
keberatan, betapa pun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini akan melahirkan betapa besarnya
kemurahan da kasih sayang Allah sehingga terucap kalimat tsana’ (pujian) kepada-Nya.
2. Syukur dengan Lisan
Ketika hati seseorang sangat yakin bahwa
segala nikmat yang ia peroleh bersumber dari Allah, spontan ia akan mengucapkan
“Alhamdulillah" (segala puji bagi Allah) Wasysyukru lillah (dan segala
bentuk syukur juga milik Allah).
Karenanya, apabila ia memperoleh nikmat
dari seseorang, lisannya tetap memuji Allah SWT. Sebab ia yakin dan sadar bahwa
orang tersebut hanyalah perantara yang Allah SWT kehendaki untuk
“menyampaikan" nikmat itu kepadanya.
Al pada kalimat Alhamdulillah berfungsi
sebagi istighraq, yang mengandung arti keseluruhan. Sehingga kata alhamdulillah
mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima pujian adalah Allah SWT,
bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.
Oleh karena itu, kita harus mengembalikan
segala pujian kepada Allah SWT. Pada saat kita memuji seseorang karena
kebaikannya, hakikat pujian tersebut harus ditujukan kepada Allah SWT. Sebab,
Allah adalah pemilik segala kebaikan.
3. Syukur dengan Perbuatan
Syukur dengan perbuatan mengandung arti
bahwa segala nikmat dan kebaikan yang kita terima harus dipergunakan di jalan
yang diridhoi-Nya. Misalnya untuk beribadah kepada Allah,
membantu orang lain dari kesulitan, dan perbuatan baik lainnya. Nikmat Allah
harus kita pergunakan secara proporsional dan tidak berlebihan untuk berbuat
kebaikan. Rasulullah saw menjelaskan bahwa Allah
sangat senang melihat nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya itu dipergunakan
dengan sebaik-baiknya. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya
Allah senang melihat atsar (bekas/wujud) nikmat-Nya pada hamba-Nya."
[HR. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr]
Maksud dari hadits di atas adalah bahwa
Allah menyukai hamba yang menampakkan dan mengakui segala nikmat yang
dianugerahkan kepadanya. Misalnya, orang yang kaya hendaknya
menampakkan hartanya untuk zakat, sedekah dan sejenisnya. Orang yang berilmu
menampakkan ilmunya dengan mengajarkannya kepada sesama manusia, memberi
nasihat dan sebagainya.
Maksud menampakkan di sini bukanlah pamer,
namun sebagai wujud syukur yang didasaari karena-Nya. Allah SWT berfirman:
“Dan
terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)."(QS.
Adh-Dhuha : 11)
4. Menjaga Nikmat dari Kerusakan
Ketika nikmat dan karunia didapatkan,
cobalah untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, usahakan untuk
menjaga nikmat itu dari kerusakan. Misalnya, ketika kita dianugerahi nikmat
kesehatan, kewajiban kita adalah menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar agar
terhindar dari sakit.
Demikian pula dengan halnya dengan nikmat
iman dan Islam. Kita wajib menjaganya dari “kepunahan" yang disebabkan
pengingkaran, pemurtadan dan lemahnya iman. Untuk itu,
kita harus senantiasa memupuk iman dan Islam kita dengan sholat, membaca
Al-Qur’an, menghadiri majelis-majelis taklim, berdzikir dan berdoa.
Kita pun harus membentengi diri dari
perbuatan yang merusak iman seperti munafik, ingkar dan kemungkaran. Intinya
setiap nikmat yang Allah berikan harus dijaga dengan sebaik-baiknya.
Nikmat
Dalam bersyukur ada sesuatu yang penting
yaitu mengenali nikmat Allah. Sesungguhnya mengetahui dan mengenal nikmat,
merupakan di antara rukun terbesar dalam bersyukur. Karena tidak
mungkin seseorang dapat bersyukur, jika dia merasa tidak mendapatkan nikmat.
Maka mengenal nikmat merupakan jalan untuk mengenal Sang Pemberi Nikmat, dan
kalau seseorang tahu siapa yang memberikan nikmat, maka dia akan mencintainya,
sehingga cinta itu akan melahirkan kesyukuran dan terima kasih.
Nikmat Allah tidaklah terbatas pada makanan
dan minuman belaka, namun seluruh gerak dan desah nafas kita adalah nikmat yang
tak terhingga yang tidak kita ketahui nilainya. Abu Darda’
mengatakan, “Barang siapa yang tidak mengetahui nikmat Allah selain makan dan
minumnya, maka berarti pengetahuannya picik dan azabnya telah menimpa."
Maka dikatakan, bahwa syukur yang bersifat
umum adalah syukur terhadap nikmat makanan, minuman, pakaian, perumahan,
kesehatan dan kekuatan. Dan syukur yang bersifat khusus adalah syukur atas
tauhid, keimanan dan kekuatan hati.
Nikmat
secara etimologis berasal dari bahasa arab yang berarti segala kebaikan,
keenakan, dan semua rasa kebahagiaan. Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan
akhirat seperti ilmu dan akhlak mulia.
Nikmat Allah amatlah banyak,
tidak terhingga dan tak berbilang, namun ada di antaranya yang sangat besar dan
pokok yang perlu untuk kita ketahui, yaitu:
·
Nikmat Islam dan Iman
Demi Allah, inilah nikmat yang terbesar, di mana Allah menjadikan kita
sebagai muslim yang bertauhid, bukan Yahudi yang dimurkai dan Nashara yang
tersesat, yang mengatakan Allah mempunyai anak, yakni Uzair Ibnullah dan Isa
Ibnullah, Maha Suci Allah dari sifat yang tak layak ini.
Ibnu Uyainah (Sufyan) berkata, “Tidak ada satu nikmat pun dari Allah untuk
hamba-Nya yang lebih utama, daripada diajarkannya kalimat la ilaha
illAllah."
·
Penangguhan dan Tutup Dosa
Ini juga merupakan nikmat yang sangat besar, karena jika setiap kita
melakukan dosa lalu Allah langsung membalasnya, maka tentu seluruh alam ini
telah binasa. Akan tetapi Allah
memberikan kesempatan dan penangguhan kepada kita untuk bertaubat dan
memperbaiki diri. Allah SWT berfirman,
“Dan (Dia) menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin"
(QS Luqman : 20)
Berkata Muqatil,
“Adapun (nikmat) yang lahir (nampak) adalah Islam, sedangkan yang batin adalah
tutup dari Allah atas kemaksiatan kalian.”
·
Nikmat Peringatan
Peringatan adalah termasuk nikmat yang besar, dan ini merupakan salah satu
ketelitian Allah agar hamba-Nya tidak terlena. Tanpa kita duga terkadang ada seseorang yang datang meminta makan atau
sesuatu kepada kita, yang dengan perantaraan orang yang sedang kesusahan
tersebut akan membuat kita ingat terhadap nikmat yang diberikan Allah.
·
Terbukanya Pintu Taubat
Merupakan nikmat yang sangat besar dari Allah adalah terbukanya pintu
taubat, sebanyak apa pun dosa dan kemaksiatan seorang hamba. Selagi nafas belum sampai tenggorokan dan selagi matahari belum terbit dari
barat, maka pintu taubat selalu terbentang untuk dimasuki oleh siapa saja.
·
Menjadi Orang Terpilih
Nikmat ini hanya dapat dirasakan oleh orang yang beristiqamah, wara’, dan
selalu menghadapkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala serta tidak menoleh
kepada yang lain. Maka Allah
menguatkan hatinya ketika fitnah tersebar di sana-sini, meneguhkannya di atas
ketaatan ketika orang berpaling darinya.
Allah hiasi hatinya dengan iman dan dijadikan cinta kepadanya, lalu dia
benci terhadap kefasikan dan kemaksiatan. Ini termasuk nikmat paling besar yang
harus disyukuri dengan sepenuhnya dan dengan sanjungan sebanyak banyaknya.
·
Kesehatan, Kesejahteraan dan Keselamatan Anggota Badan
Kesehatan, sebagaimana dikata-kan Abu Darda’ Radhiallaahu anhu adalah
ibarat raja. Sementara itu Salman al Farisi mengisahkan tentang seorang yang
diberi harta melimpah lalu kenikmatan tersebut dicabut, sehingga dia jatuh
miskin, namun orang tersebut justru memuji Allah dan menyanjung-Nya.
Maka ada orang kaya lain yang bertanya, “Aku tak tahu, atas apa engkau
memuji Allah? Dia menjawab, “Aku memuji-Nya atas sesuatu yang andaikan aku
diberi seluruh yang diberikan kepada manusia, maka aku tidak mau menukarnya. Si
kaya bertanya, “Apa itu? Dia menjawab, “Apakah engkau tidak memperhatikan
penglihatanmu, lisanmu, kedua tangan dan kakimu (kesehatannya)?
·
Nikmat Harta (Makan, Minum dan Pakaian)
Bakar al Muzani berkata, “Demi Allah aku tidak tahu, mana di antara dua
nikmat yang lebih utama atasku dan kalian, apakah nikmat ketika masuk (menelan)
ataukah ketika keluar dari kita (membuang)? Berkata Al-Hasan, “Itu adalah
kenikmatan makan.”
Aisyah Radhiallaahu anha berkata, “Tidaklah seorang hamba yang meminum air
bening, lalu masuk perut dengan lancar tanpa ada gangguan dan keluar lagi
dengan lancar, kecuali wajib baginya bersyukur.”
Adapun cara menyikapi nikmat yaitu:
- Mengakui nikmat yang diberikan dengan penuh ketundukan.
- Memuji yang memberi nikmat atas nikmat yang diberikannya.
- Cinta hati kepada yang memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan ketaatan serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya.
- Menyaksikan kenikmatan dan menjaga (diri dari) keharaman.
- Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.
- Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberinya dengan ketenangan.
- Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.
- Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada.
Kesimpulan
Setelah mengetahui kebenaran, kesempurnaan,
serta keistimewaan nikmat Allah, tidak selayaknya kita melalaikan nikmat ini
begitu saja. Hendaknya kita mensyukuri nikmat ini dengan sebenar-benarnya
syukur, agar Allah tidak mencabut nikmat itu dari kita. Dari beberapa ayat yang
saya ambil, dapat saya simpulkan bahwa semua nikmat yang Allah berikan harus
didasari dengan keimanan dan tawakkal kepada Allah. Menjalani perintah serta
menjauhi larangan-Nya. Allah saja bisa menambah nikmat kepada hamba-Nya, kenapa
kita sebagai hamba-Nya tidak bisa menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada
Allah.
[1] Komaruddin Hidayat, Memahami
bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h.
89-99.
[2] Ngainun Naim, Pengantar
Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 10-12. Baca juga Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2011).
[3] Fuad Amsari, Islam Kaafah:
Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia (Jakarta: Gema Isani Press,
1995).